APA KATA PARA GURU MEDITASI ?
APA KATA PARA
GURU MEDITASI ?
Oleh: Ven. Visuddhacara
Diterjemahkan oleh Hudoyo Hupodio
Pada umumnya para guru meditasi Buddhis yang terkenal
dan berpengalaman
sepakat bahwa jhana tidak diperlukan atau tidak
merupakan syarat pendahulu bagi meditasi vipassana. Misalnya, dalam buku
“Living Buddhist Masters” (dulu diterbitkan oleh Buddhist Publication Society, Sri Lanka, dan sesudah itu dengan judul baru,
“Living Dharma”, diterbitkan oleh penerbit Shambala) karya Jack Kornfield, dari
ke-12 guru yang ditampilkan di sana,
semuanya menyatakan dengan jelas atau mengisyaratkan bahwa orang dapat
melakukan vipassana tanpa memupuk jhana sedikit pun.
Beberapa di antara mereka mengajarkan vipassana dengan
bertumpu pada khanika-samadhi atau ‘konsentrasi-mendekat’ (upacara-samadhi).
Yang lain mengajarkan baik samatha (ketenangan), jhana (absorpsi) dan
vipassana, tetapi menekankan bahwa orang tidak perlu jhana untuk melakukan
vipassana. Para pemeditasi dapat pindah ke
vipassana setelah mencapai tingkat konsentrasi yang cukup untuk mengatasi
kelima ‘rintangan batin’. Lebih jauh lagi, kebanyakan dari mereka
memperingatkan agar orang tidak melekat atau berhenti di dalam jhana dan
menekankan perlunya melakukan vipassana.
Beberapa di antara guru meditasi ini telah menjadi
bhikkhu sejak masa remaja mereka dan bukan hanya mahir di dalam meditasi tetapi
juga di dalam pengetahuan kitab suci. Mereka telah mempelajari Tipitaka,
Kitab-kitab Komentar dan Kitab-kitab Subkomentar dalam bahasa aslinya, Pali,
dan dengan demikian berbicara berdasarkan otoritas dari kitab suci maupun
praktik dan pengalaman pribadi. Beberapa dari mereka telah berlatih di
hutan-hutan selama bertahun-tahun dan menguasai baik samatha maupun vipassana.
AJAHN CHAH
Guru meditasi terkenal, Ajahn Chah, ditanya pada suatu
sesi Tanya-Jawab:
“Apakah perlu untuk mampu masuk ke dalam absorpsi
[jhana] dalam latihan kita?”
Jawab Guru: “Tidak, absorpsi(1) tidak diperlukan. Anda
perlu mencapai suatu tingkat ketenangan dan pemusatan batin yang sekadar cukup.
Lalu gunakan itu untuk mengamati diri sendiri. Tidak diperlukan sesuatu yang
istimewa. Jika absorpsi muncul dalam latihan Anda, itu juga baik. Tapi jangan
melekat kepadanya. Beberapa orang asyik dengan absorpsi. Itu bisa menjadi
permainan yang amat menyenangkan. Anda harus tahu batas-batas yang semestinya.
Jika Anda arif, Anda akan tahu kegunaan dan keterbatasan absorpsi, seperti Anda
tahu keterbatasan anak kecil dibandingkan orang dewasa.”
Ajahn Chah, yang terkenal di kalangan pemeditasi
vipassana di Timur maupun Barat, berbicara terutama berdasarkan otoritas
pengalaman beliau; beliau telah menjadi bhikkhu sejak usia remaja dan pernah
bermeditasi bertahun-tahun di hutan-hutan Thailand. Pada dewasa ini terdapat
lebih dari 100 vihara yang merupakan cabang dari vihara pusat Ajahn Chah, Wat
Nong Pah Pong, di Thailand. Sebagai tambahan, para murid beliau juga mendirikan
pusat-pusat meditasi di berbagai bagian dunia.
AJAHN DHAMMADARO
Seorang guru meditasi Thai, yang pernah berlatih dalam
beberapa teknik meditasi, tetapi lebih menyukai vipassana langsung
berdasarkan ‘konsentrasi saat-demi-saat’ (khanika-samadhi) adalah Ajahn
Dhammadaro.
Beliau pernah ditanya: “Sang Buddha bicara tentang
perlunya mengembangkan perhatian-penuh (mindfulness) dan konsentrasi. Dapatkah
Anda bicara lebih dalam tentang konsentrasi?”
Jawaban beliau: “Ada
tiga jenis konsentrasi yang dikembangkan dalam meditasi. Dua di antaranya dikembangkan di jalan
absorpsi (jhana), yakni:
‘konsentrasi-mendekat’ (upacara-samadhi) dan
‘konsentrasi-penuh’ (appana-samadhi, jhana). Keduanya dicapai dengan memusatkan
perhatian pada satu obyek meditasi. Termasuk meditasi jenis itu ialah
visualisasi dari wujud-wujud atau warna-warna tertentu, atau memusatkan
perhatian pada perasaan tertentu, seperti cinta kasih (metta). Bila
‘konsentrasi-mendekat’ dan ‘konsentrasi-penuh’ (jhana) sudah tercapai,
muncullah kenikmatan dan ketenangan; pemeditasi terserap sepenuhnya dalam obyek
meditasinya, dan tiada ‘rintangan batin’ dapat mengganggunya.
Penghentian kotoran batin yang bersifat sementara ini
hanya berlangsung selama pemeditasi memusatkan perhatian pada obyek
meditasinya. Begitu batin meninggalkan keterserapannya di dalam obyek, maka
kenikmatan pun lenyap dan batin dirongrong lagi oleh arus kotoran batin.
Sebagai tambahan, ada bahaya dari konsentrasi yang memusat ini. Oleh karena
tidak menghasilkan kearifan, keadaan itu dapat membawa pada kelekatan terhadap
kenikmatan batin atau bahkan penyalahgunaan kekuatan-kekuatan konsentrasi, dan
dengan demikian malah menambah kotoran batin.
“Jenis konsentrasi ketiga di dalam Jalan Suci Berunsur
Delapan dinamakan ‘konsentrasi benar’ atau ‘konsentrasi sempurna’. Konsentrasi
ini dikembangkan atas dasar saat-demi-saat dalam meditasi pencerahan (vipassana).
Hanya konsentrasi saat-demi-saat mengikuti jalan perhatian-penuhlah yang dapat
menuntun pada musnahnya kotoran batin.
Konsentrasi ini tidak dikembangkan dengan memusatkan
batin pada satu obyek tanpa-bergerak, melainkan dengan sadar sepenuhnya terhadap
sensasi tubuh, perasaan, kesadaran dan bentuk-bentuk batin. Bila telah
berkembang semestinya di dalam tubuh dan batin, konsentrasi saat-demi-saat
membawa pada berakhirnya kelahiran yang berulang-ulang. Melalui konsentrasi
ini, kita mengembangkan kemampuan melihat jelas kelima kelompok yakni tubuh,
perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk batin dan kesadaran, yang membentuk apa
yang secara konvensional disebut ‘manusia’.”
Terhadap pertanyaan lain, “Maukah Bhante menjelaskan
lebih lanjut bagaimana mengembangkan konsentrasi saat-demi-saat?”,
Ajahn Dhammadaro menjawab: “Ada
dua poin penting yang perlu dikemukakan. Pertama, pencerahan perlu dikembangkan
melalui perasaan (vedana) yang timbul melalui kontak pada setiap pintu indra.
Kelompok ‘tubuh’ adalah dasar untuk mengembangkan konsentrasi saat-demi-saat
yang menghasilkan kearifan. Oleh karena itu, kita harus sadar sepenuhnya akan
sensasi atau perasaan yang muncul dari kontak pada mata, telinga, hidung,
lidah, tubuh/kulit dan batin/ingatan sebagai landasannya.
“Poin kedua yang penting adalah bahwa kontinuitas
adalah rahasia keberhasilan dalam meditasi. Pemeditasi harus berupaya
untuk tetap sadar siang dan malam, setiap saat, dan dengan demikian dengan
cepat mengembangkan konsentrasi dan kearifan.
Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa jika pemeditasi benar-benar sadar dari saat ke
saat selama tujuh
hari, ia akan mencapai pencerahan penuh. Oleh karena
itu, esensi meditasi pencerahan adalah perhatian-penuh saat-demi-saat
terus-menerus terhadap sensasi yang muncul dari kontak pada keenam landasan
indra.”
Tekanan dan metode Ajahn Dhammadaro mirip dengan Mahasi
Sayadaw; keduanya menekankan perhatian-penuh saat-demi-saat, siang malam,
selama retret untuk memperoleh hasil terbaik. Sesungguhnya semua guru meditasi
pada umumnya menekankan untuk mempertahankan perhatian-penuh terus-menerus,
kecuali beberapa di antara mereka tidak memiliki jadwal meditasi yang intensif,
melainkan meminta pemeditasi untuk mengerjakan pekerjaan dan kegiatan
sehari-hari yang normal disertai perhatian-penuh, seperti menyapu, menimba air
dan membelah kayu. Mereka juga membolehkan membaca, belajar dan bercakap-cakap
sedikit.
AJAHN JUMNIEN
Seorang guru meditasi Thai lain, Ajahn Jumnien, yang
berpandangan bahwa orang jangan melekat pada satu metode saja, melainkan
mengakui validitas dari semua metode, entah samatha entah vipassana murni,
sangat melegakan dan merupakan peringatan yang baik agar kita memiliki
pandangan yang luas. Ajahn Jumnien tentu tahu, oleh karena beliau sendiri telah
memraktikkan baik teknik samatha maupun vipassana. Beliau berkata, “Saya mujur.
Saya menguasai praktik dari banyak guru meditasi sebelum saya mulai mengajar. Ada banyak praktik yang
baik. Yang penting ialah bahwa Anda menekuni praktik Anda sendiri dengan yakin
dan penuh energi. Kelak Anda akan tahu sendiri hasilnya.”
Ketika ditanya, jenis meditasi apakah yang diajarkannya
di pusat meditasinya di Thailand
selatan, Ajahn Jumnien menjawab: “Di sini Anda akan menjumpai orang berlatih
banyak teknik meditasi. Sang Buddha menguraikan lebih dari empat puluh jenis
meditasi bagi para siswa beliau. Tidak semua orang mempunyai latar belakang
yang sama, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama. Saya tidak
mengajarkan hanya satu jenis meditasi saja, melainkan banyak jenis, dengan
memilih jenis yang cocok bagi setiap siswa. Di sini ada yang melatih meditasi
pernapasan. Yang lain bermeditasi dengan mengamati sensasi pada tubuh. Ada yang
bermeditasi pada cinta kasih. Bagi orang lain yang datang, saya mengajarkan
permulaan latihan pencerahan (vipassana); dan untuk orang lain saya mengajarkan
metode konsentrasi yang kelak akan membawa mereka pada latihan pencerahan
(vipassana) dan kearifan yang lebih tinggi.”
Namun, tampaknya Ajahn Jumnien lebih menyukai metode
vipassana langsung, yakni langsung mulai dengan vipassana tanpa mengembangkan
samatha-jhana. Beliau adalah murid Ajahn Dhammadaro, yang menyukai
‘khanika-samadhi’ (konsentrasi saat-demi-saat), yakni konsentrasi yang perlu
dikembangkan oleh setiap pemeditasi vipassana langsung. Ketika ditanya: “Apakah
biasanya Bhante mulai membimbing siswa Bhante langsung dengan meditasi
vipassana atau dengan praktik konsentrasi?”, Ajahn Jumnien menjawab: “Paling
sering mereka mulai dengan praktik vipassana. Namun, kadang-kadang saya
mengajarkan praktik konsentrasi (jhana) dulu, terutama jika mereka pernah
mempunyai pengalaman meditasi sebelumnya, atau jika batin mereka cenderung
dengan mudah mencapai konsentrasi. Yang paling penting akhirnya semua orang
harus kembali ke praktik vipassana.”
AJAHN BUDDHADASA
Ajahn Buddhadasa yang terkenal dari vihara Suan Mokh di
Thailand selatan juga membolehkan orang untuk memintasi jhana dan melatih
vipassana setelah mencapai tingkat konsentrasi yang cukup untuk mengatasi kelima
‘rintangan batin’. Ajahn Buddhadasa mengajarkan ‘anapanasati’ (meditasi
pernapasan)dan menjelaskan ke-16 langkah yang dibutuhkan untuk mengembangkan
jhana dan vipassana. Tetapi beliau juga membolehkan orang untuk memintasi jhana
dan melatih dua saja dari ke-16 langkah itu. Dalam buku beliau, “Anapanasati —
Perhatian Penuh dengan Pernapasan” halaman 116, Ajahn Buddhadasa berkata: “Jika
ada orang merasa bahwa keenam belas langkah ini terlalu banyak, itu boleh-boleh
saja. Ke-16 langkah itu bisa diringkas menjadi dua langkah saja.
Pertama — latihlah citta (batin) untuk berkonsentrasi
secara memadai dan semestinya. Kedua — dengan samadhi itu pindahlah untuk
langsung mengamati ketidakkekalan (aniccam), keadaan tak-memuaskan (dukkham)
dan tanpa-aku (anatta). Dua langkah ini saja, jika dilakukan bersama setiap
tarikan dan hembusan napas, dapat dianggap sebagai anapanasati juga. Jika Anda
tidak suka akan latihan 16 langkah itu, atau menganggap bahwa itu terlalu
teoretis,atau terlalu banyak untuk dipelajari, atau terlalu mendetail, ambillah
saja dua langkah ini. Pusatkan batin dengan berkonsentrasi pada pernapasan.
Bila Anda merasa samadhi (konsentrasi) sudah cukup kuat, selidikilah segala
sesuatu yang Anda ketahui dan alami, sehingga Anda sadar betapa semua itu tidak
kekal, betapa semua itu tidak memuaskan, dan betapa semua itu tanpa-ruh; ini
saja sudah cukup untuk mencapai hasil yang diinginkan, yakni tinggalkan!
lepaskan! jangan melekat! Akhirnya, perhatikan berakhirnya kilesa (kotoran
batin) dan berakhirnya kelekatan bila aniccam-dukkham-anatta terlihat
sepenuhnya. Demikianlah, Anda dapat mengambil jalan pintas ini jika mau.”
Di bagian lain dari buku beliau (hal. 124), di mana
beliau lagi-lagi memberi pilihan kepada para pemeditasi untuk memintasi
pengembangan jhana, beliau berkata: “Kita akan mulai berbicara bagi mereka yang
tidak suka ‘banyak’. Dengan istilah ‘banyak’ tampaknya mereka maksudkan terlalu
banyak atau surplus. Nah, surplus itu tidak perlu. Kita akan mengambil hanya
yang cukup saja bagi orang kebanyakan, yang kita namakan ‘metode jalan pintas’.
Intisari dari metode ini ialah memusatkan batin secara memadai, cukup sampai di
situ saja, yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Lalu gunakan batin yang
sudah memusat itu untuk mengamati aniccam-dukkham-anatta, ketiga sifat
eksistensi, sampai tercapai ‘su~n~nata’ (kekosongan) dan ‘tathata’ (hakikat
yang ada). Dengan latihan ini mereka akan memperoleh manfaat samadhi juga.
Mereka akan memperoleh hasil lenyapnya dukkha yang sepenuhnya sama, tetapi
tidak ada sifat-sifat istimewa lain sebagai tambahan dari itu.
Kemampuan-kemampuan istimewa seperti itu juga tidak
dibutuhkan. Jadi buatlah batin terpusat secara cukup, lalu selidiki
‘aniccam-dukkham-anatta’. Latihlah saja kelompok-empat pertama dari Anapanasati
secara cukup, lalu kelompok-empat keempat secara cukup. [Ke-16 langkah dalam
Anapanasati-sutta dikelompokkan menjadi empat kelompok-empat (tetrad)./hudoyo]
Itu saja! Cukup dan tidak banyak, juga tidak lengkap, tetapi sudah cukup bagus. Inilah jalan pintas bagai
orang biasa.”
Ajahn Buddhadasa sendiri telah menyatakan dengan sangat
jelas. Suatu taraf konsentrasi yang cukup saja yang diperlukan, dan jhana sama
sekali tidak dibutuhkan.
AJAHN NAEB
Guru meditasi perempuan Thai, Ajahn Naeb, juga mengajarkan
metode vipassana langsung, menekankan perhatian-penuh dalam keempat posisi
tubuh: duduk, berdiri, berjalan dan berbaring, serta pada setiap kegiatan
sehari-hari, siang malam. Perlu adanya pengamatan tajam terhadap semua proses
batin dan jasmani. Tidak diperlukan meditasi samatha (ketenangan, konsentrasi)
khusus, oleh karena konsentrasi akan berkembang mencapai tingkat yang kuat dan
diperlukan sementara orang melatlih vipassana langsung dengan mengamati semua
proses batin dan jasmani tanpa jeda sepanjang siang dan malam.
KHANIKA SAMADHI: KONSENTRASI SAAT-DEMI-SAAT
Di sini ada baiknya untuk kita bahas jenis konsentrasi
apa yang dikembangkan oleh seorang pemeditasi Vipassana murni. Pemeditasi
Vipassana menggunakan KHANIKA-SAMADHI (konsentrasi saat-demi-saat) yang
tercapai dengan mengamati obyek-obyek vipassana, yakni mengamati berbagai
fenomena mental dan fisik yang terjadi di dalam batin dan tubuh. Disebut
‘khanika’ (saat-demi-saat) oleh karena hanya terjadi pada saat pengamatan, dan
dalam hal vipassana, bukan pada satu obyek seperti dalam meditasi
samatha-jhana, melainkan pada obyek-obyek atau fenomena yang selalu berubah
yang terjadi dalam batin dan tubuh. Tetapi ketika pemeditasi vipassana
mengembangkan kekuatan dan ketrampilan dalam mengamati, konsentrasi
‘khanika’-nya berlangsung tanpa terputus dalam rangkaian tanpa-jeda.
Konsentrasi ini, bila terjadi dari saat ke saat tanpa jeda, menjadi begitu kuat
sehingga dapat mengalahkan kelima ‘rintangan batin’, dan dengan demikian
menghasilkan penyucian batin (citta visuddhi), yang memungkinkan pemeditasi
mencapai semua pencerahan vipassana (vipassana-~nyana) sampai ke tingkat
arahat. Pemeditasi vipassana murni dapat memahami dan menghargai kekuatan
khanika-samadhi. Ketika pengamatannya menjadi lancar, mereka bisa melihat
sendiri betapa pengamatan berjalan sendiri tanpa terputus tanpa jeda.
Pengamatan itu tampak berjalan dengan tenaganya sendiri tanpa pemeditasi
mengerahkan upaya yang disengaja atau yang terpusat. Maka tidak langka bagi
pemeditasi untuk duduk satu jam, atau bahkan beberapa jam, terserap dalam
pengamatan. Dalam pengamatan yang baik, terutama dalam pencerahan tentang
keseimbangan (sankhara-upekkha-~nana), batin diam pada obyek-obyeknya dan tidak
mau menyimpang. Bahkan jika kita menghendaki batin menyeleweng, ia menolak
pergi dan tetap tinggal bersama obyek vipassana yang tengah diamatinya. Ada
kasus-kasus di mana pemeditasi mampu duduk selama enam atau tujuh jam
terus-menerus, atau lebih lama lagi. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa
ada kekuatan tertentu dalam ‘khanika-samadhi’; jika tidak, bagaimana mungkin
pemeditasi bisa duduk dengan konsentrasi kuat untuk waktu begitu lama.
Demikianlah, para pemeditasi atau calon-pemeditasi
hendaknya tidak menganggap ‘khanika-samadhi’ sebagai lemah dan tidak efektif.
Memang, ia lemah sebelum berkembang, tetapi bila telah lancar, ia menjadi
begitu kuat sehingga mampu mengatasi ‘rintangan batin’. Bahkan, dalam
menekankan kekuatan potensial dari ‘khanika-samadhi’, kitab Paramattha-manjusa,
Subkomentar terhadap Visuddhi-magga, menyatakan bahwa konsentrasi
saat-demi-saat, bila berlangsung tanpa terputus pada obyeknya, “memancangkan
batin tanpa bergerak seolah-olah seperti dalam jhana.”(2)Mengatasi kelima
‘rintangan batin’ adalah semua yang dibutuhkan untuk mengembangkan meditasi
vipassana. Bila kelima ‘rintangan batin’ telah diatasi, terjadilah
penyucian-batin (citta-visuddhi). Dengan penyucian-batin ini, orang dapat
berlatih dan memperoleh seluruh pencerahan vipassana (vipassana-~nana) sampai
ke tingkat arahat., sebagaimana ditunjukkan dalam Rathavinita-sutta dari
Majjhima Nikaya.
Orang dapat memilih melakukan vipassana melalui tiga
jenis konsentrasi:
(1) khanika-samadhi (konsentrasi saat-demi-saat);
(2) upacara-samadhi (konsentrasi mendekat);
(3) appana-samadhi atau jhana (konsentrasi penuh).
Pejalan jhana menggunakan jhana dengan mula-mula
mencapai jhana dan kemudian keluar lagi dari jhana untuk melakukan vipassana
dengan berkontemplasi pada faktor-faktor mental jhana atau keadaan batin atau
proses fisik apa pun yang terjadi dalam batin dan jasmani.
Upacara-samadhi adalah konsentrasi-mendekat atau
konsentrasi-akses. Itu adalah konsentrasi yang tercapai ketika orang mengamati
obyek samatha (ketenangan) yang tetap untuk mencapai jhana. Jadi, itu
adalah konsentrasi yang mendahului tercapainya jhana. Namun, pemeditasi yang
menggunakan konsentrasi-akses untuk melakukan vipassana, tidak perlu menunggu
untuk mengembangkan atau mencapai jhana. Tanpa mencapai jhana ia mulai
berkontemplasi pada obyek-obyek vipassana setelah ia mencapai tingkat
konsentrasi-akses.
Khanika-samadhi (konsentrasi saat-demi-saat) digunakan
oleh pemeditasi vipassana murni; konsentrasi ini, bila telah
berkembang, sama kuatnya dengan upacara-samadhi (konsentrasi-akses). Tetapi
secara teknis tidak dinamakan ‘konsentrasi-akses’ karena konsentrasi-akses
menggunakan obyek samatha yang tetap sebagai dasar untuk pencapaian jhana. Di
pihak lain, konsentrasi-khanika dari pemeditasi vipassana murni memakai
obyek-obyek vipassana yang tidak dimaksudkan untuk mencapai jhana. Itulah
sebabnya ada perbedaan istilah. Namun, di dalam kitab-kitab Komentar,
konsentrasi-khanika dari pemeditasi vipassana kadang-kadang juga disebut
konsentrasi-akses. Dalam hal itu, istilah itu adalah istilah “terapan”, artinya
itu adalah konsentrasi-akses “nominal”, dan bukan konsentrasi-akses
sesungguhnya, oleh karena secara teknis konsentrasi-akses menggunakan obyek
samatha yang tetap.(3) Kami menjelaskan topik konsentrasi saat-demi-saat secara
mendetail di sini bagi para pemeditasi yang cenderung berpikir dari sisi
kesarjanaan. Pada umumnya, kebanyakan pemeditasi tidak mau pusing dengan uraian
yang begitu mendetail.
VEN. SRI ~NANARAMA MAHATHERA
Penjelasan yang kami berikan di atas sejalan dengan
penjelasan para guru meditasi seperti Mahasi Sayadaw dari Myanmar dan Ven.
Matara Sri ~Nanarama Mahathera dari Sri Lanka. Para bhikkhu itu memiliki baik
pengalaman praktik maupun kesarjanaan yang kuat. Misalnya, Ven. ~Nanarama,
adalah kepala Mitirigala Nissara Vanaya, sebuah vihara meditasi yang ketat di
Sri Lanka. Beliau mahir dalam bahasa Pali dan Sanskrit. Sejak tahun 1951,
beliau telah menjadi upajjhaya (penahbis) dan guru dari Sri Kalyani
Yogashramiya Samstha, sebuah organisasi guru meditasi yang didirikan oleh Ven.
K. Sri Jinavamsa Mahathera. Organisasi ini mempunyai lebih dari lima puluh
cabang pusat meditasi di Sri Lanka.
Ven. ~Nanarama Mahathera mengajarkan bukan hanya
vipassana murni tetapi juga meditasi samatha (ketenangan). Dalam bukunya, “Tujuh
Tahap Penyucian dan Pencerahan Vipassana” yang diterbitkan oleh Buddhist
Publication Society di Sri Lanka, Ven. ~Nanarama menjelaskan baik metode
samatha maupun metode vipassana murni, sesuai dengan pengalaman beliau pribadi
dan sejalan dengan kitab suci Pali dan kitab-kitab Komentar. Di dalam
menjelaskan ketiga jenis konsentrasi, beliau menyatakan:
“Ada tiga jenis konsentrasi yang memenuhi syarat
sebagai Penyucian Batin:
(1) konsentrasi-akses (upacara-samadhi)
(2)
konsentrasi-penuh atau
konsentrasi-absorpsi (appana-samadhi atau jhana); dan
konsentrasi
saat-demi-saat (khanika-samadhi). Dua konsentrasi yang
pertama tercapai
melalui jalan ketenangan (samatha), sedangkan
konsentrasi terakhir tercapai melalui jalan pencerahan (vipassana). Konsentrasi
saat-demi-saat mempunyai kekuatan yang sama untuk pemusatan batin seperti
konsentrasi-akses. Oleh karena … menekan kelima ‘rintangan batin’, konsentrasi
itu membantu pencapaian pencerahan-vipassana. Namun, oleh karena tidak
dimaksudkan sebagai landasan bagi jhana, konsentrasi itu tidak disebut
konsentrasi-akses.”
(Di Sri Lanka, sekitar 40 tahun lalu, ada tiga bhikkhu
mengritik metode vipassana murni yang diajarkan oleh Mahasi Sayadaw. Setelah
itu, salah satu dari mereka, dalam sebuah artikel dalam majalah World Buddhism
pada tahun 1966, lagi-lagi mengritik metode itu dan menyatakan bahwa jhana
diperlukan untuk vipassana. Sayadaw U Nyanuttara dari Myanmar menulis
serangkaian jawaban, di mana dijelaskan kedudukan konsentrasi saat-demi-saat
(khanika) dan dijelaskan mengapa jhana tidak diperlukan berdasarkan bukti-bukti
kitab suci dan kitab komentar. Belakangan, Organisasi Mahasi menerbitkan baik
kritik dan jawaban itu dalam sebuah buku yang dapat dibaca oleh generasi
mendatang.)
Catatan kaki:
(1) ‘Absorpsi’ di sini mengacu pada jhana.
(2) Lihat catatan kaki dalam buku Ven. ~Nanamoli, “Path
of Purification (Visuddhi-magga)”, hal. 311.
(3) Perbedaan istilah yang “halus” ini telah dijelaskan
oleh Sayadaw U
~Nyanuttara dalam buku beliau, “Satipattana-Vipasssana
Meditation: Criticism and Replies”.
Ven. Visuddhacara adalah seorang bhikkhu Buddhis
Malaysia. Pada saat ini beliau tinggal di Penang. Buku-buku beliau yang sudah
terbit termasuk “Curbing Anger Spreading Love”, “Drinking Tea Living Life”, dan
“Love and Dying”.
KOMENTAR:
Di kalangan guru meditasi vipassana pada dewasa ini
terdapat dua aliran tentang perlu-tidaknya jhana (sekurang-kurangnya jhana
pertama) dicapai lebih dulu sebelum orang melakukan vipassana untuk
mencapai pembebasan:
(1) Yang mengatakan bahwa jhana tidak diperlukan untuk
pembebasan termasuk Mahasi Sayadaw, Ajahn Chah, Buddhadasa Mahathera, dan
guru-guru lain yang ditampilkan dalam artikel di atas. Juga SN Goenka termasuk
aliran ini.
(2) Yang mengatakan bahwa jhana mutlak diperlukan untuk
pembebasan termasuk Henepola Gunaratana, Brahmavamso dan Thanissaro.
Pada umumnya, aliran #1 berpegang pada tradisi
vipassana Theravada yang
dipaparkan secara rinci di dalam kitab Visuddhi-magga
(yang ditulis pada abad 5 M dan tidak termasuk dalam Kanon Pali). Namun mereka
pun dapat menunjukkan sutta-sutta tertentu di dalam Sutta Pitaka di mana jhana
tidak disebut-sebut dalam proses perjalanan mencapai pembebasan.
Di lain pihak, aliran #2 berpegang pada banyak sutta di
dalam Sutta Pitaka yang menampilkan jhana sebagai ‘pencapaian antara’ di dalam
jalan menuju pembebasan. Aliran ini mau tidak mau harus mengesampingkan
otoritas Visuddhi-magga, karena kitab itu secara eksplisit menyatakan bahwa
jhana tidak diperlukan, sekalipun tidak salah pula untuk dicapai.
Di dalam kontroversi ini kiranya tidak ada gunanya
mempermasalahkan mana yang benar di antara kedua pendapat itu. Soalnya setiap
pemeditasi pasti memperoleh hasil sesuai dengan jalan yang dilaluinya, sehingga
siapa pun tidak mungkin dapat mengklaim bahwa jalan orang lain salah.
Di dalam Sutta Pitaka sendiri ada beberapa petunjuk
bahwa kontroversi ini sudah ada sejak zaman Sang Buddha sendiri. Antara lain
adanya dua istilah yang setara, yakni ‘ceto-vimutti’ (pembebasan melalui
batin/jhana) dan ‘pa~n~na-vimutti’ (pembebasan melalui kearifan/vipassana),
yang banyak ditemukan dalam berbagai sutta.
Dalam salah satu sutta, Sang Buddha pernah ditanya oleh
para bhikkhu,
mengapa sampai ada kedua istilah itu? Beliau menjawab,
“Itu disebabkan
adanya perbedaan dalam kemampuan batin manusia.” (Saya
menafsirkan jawaban Sang Buddha itu mengacu pada adanya pemeditasi yang mampu
dengan mudah mencapai jhana dan ada yang tidak, tapi beliau tidak menyatakan
bahwa hanya satu jalan saja yang benar.)
Analisis yang pernah saya lakukan terhadap
Culasaropama-sutta juga
mengisyaratkan adanya persaingan antara kedua aliran
meditasi ini di dalam sutta itu.
Kalau kita mempelajari sutta-sutta yang berisi uraian
Sang Buddha tentang jalan pembebasan, ternyata beliau tidak mengajarkan satu
jalan yang baku dan seragam.
Di satu sutta beliau mengajarkan bahwa pembebasan
tercapai melalui keadaan ‘sa~n~na-vedayita-nirodha” (berhentinya pencerapan dan
perasaan), yang adalah lebih tinggi daripada jhana kedelapan.
Di sutta lain, beliau mengajarkan bahwa pembebasan
tercapai melalui
kesaktian keenam, yang disebut “asava-kkhaya-abhi~n~na”
(kesaktian tentang berakhirnya arus kotoran batin), yang dikembangkan setelah
pemeditasi mencapai jhana keempat.
Di sutta lain lagi, beliau mengajarkan bahwa pembebasan
tercapai melalui vipassana setelah pemeditasi mencapai jhana pertama lebih
dulu.
Di sutta lain lain, beliau mengajarkan bahwa pembebasan
tercapai melalui vipassana murni tanpa menyebut-nyebut jhana.
Demikianlah, tampaknya Sang Buddha mengajarkan berbagai
jalan meditasi bagi berbagai bhikkhu/orang yang berbeda kecenderungan dan
kemampuan batinnya.
Jadi, sekali lagi, tidak ada gunanya mempertentangkan
berbagai jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha itu satu sama lain. Biarlah
setiap orang menempuh jalan yang sesuai dengan pemahaman dan kemampuan
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar